Sugeng Rawuh Teng Blogger "Goresan Tinta Penaku" Mugi-mugi Bermanfaat

Jumat, 30 Januari 2015

Kisah Nyata


Kisah Penjaga Sekolah yang Mampu Naik Haji

Orang-orang biasa memanggilnya Pak Ngah. Sudah menjadi budaya di Melayu, orang dipanggil menurut urutan kelahirannya di keluarga. Si sulung akan dipanggil pak lung (bapak sulung), pak ngah (bapak tengah), pak de (anak ketiga), pak ning (anak keempat), atau pak su (bapak bungsu). Jika perempuan maka tinggal di ganti Pak menjadi Mak, mak lung, mak su, dan sebagainya.
Pak ngah, dia adalah seorang lelaki paruh baya yang sudah tidak bisa lagi bisa dikatakan muda. Usianya mungkin nyaris 60 tahunan. Tapi begitulah, karena di pedalaman Kalimantan makanannya masih banyak yang alami, udara juga masih segar dan menyehatkan, maka pak ngah ini, walau usinya sudah tidak bisa dikatakan muda lagi, ia tetap sehat wal afiat. Tulang dan persendiannya masih oke! Masih kuat bekerja dan berjalan jauh. Luar biasa!
“Pak Syaiha..” katanya dulu, beberapa hari sebelum saya kembali ke Bogor, “Jangan lupa doakan pak Ngah di setiap sujudnya pak Syaiha”
“Doa apa, pak Ngah?” tanyaku.
“Insya Allah tahun ini pak Ngah akan ke tanah suci, naik haji”
“Insya Allah pak Ngah.. Insya Allah..” jawabku antusias. Senang.
Saya salut. Orang seperti pak Ngah, bukanlah orang kaya raya. Bukan orang yang bergelimangan harta. Saat ini bahkan pak Ngah sudah tidak lagi bekerja, hanya mengurusi sepetak tanah yang isinya juga tidak seberapa. Tapi begitulah Allah, ia mengundang siapa saja yang Dia kehendaki untuk datang ke tanah suci. Tidak peduli ia kaya atau miskin, kalau Allah sudah mengundang, maka Allah sendiri yang mencukupkan. Allah, tuhan semesta alam ini memang luar biasa.
Saya adalah orang yang selalu percaya bahwa semua ada sebabnya. Sama seperti ketika ada asap yang mengepul, maka pasti ada apinya. Sama seperti kasus pak Ngah ini.
Semasa mudanya, pak Ngah adalah penjaga sekolah tempat saya mengabdi di pedalaman Kalimantan. Konon, ketika pak Ngah menjadi penjaga sekolah dulu, ia benar-benar menjaga sekolah dengan baik dan bersih. Tidak akan dibiarkannya rumput liar tumbuh panjang di sekitar sekolah. Pak Ngah memang rajin, rumahnya di pedalaman Kalimantan bahkan adalah satu-satunya rumah yang paling bersih dari rumput liar. Nikmat sekali memandangnya, sederhana tapi bersih dan rapi.
“Membersihkan rumput sekolah itu dibayar, kan Pak?” tanyaku kepada seorang guru senior di sekolahku, dulu.
Dengan tersenyum, guru senior itu menjawab, “Kadang dibayar, kadang juga tidak. Tapi pak Ngah tidak pernah ambil pusing, ia melakukannya dengan senang hati”
Aku manggut-manggut. Berpikir, barangkali inilah sebabnya mengapa hidup pak Ngah begitu mudah dan tercukupi. Ingat, Islam sangat menghargai ilmu. Maka siapa saja yang terlibat di dalamnya, memiliki derajat mulia di sisi Allah. Guru misalnya, derajatnya bahkan hanya satu tingkat di bawah derajat kenabian. Siswa juga, setiap langkahnya ke sekolah akan dicatat sebagai amal kebaikan. Bahkan jika ada seseorang meninggal dalam kondisi menuntut ilmu, maka ia syahid.
Dan pak Ngah, walau hanya penjaga sekolah, namun ia benar-benar menjaga agar sekolah selalu bersih dan enak dipandang, membuat guru dan siswa betah disana. Maka pasti Allah mengangkat pula derajatnya. Memudahkan semua urusannya.
“Pak Ngah selalu percaya, Allah dan Rasulnya tidak akan menyia-nyiakan perbuatan baik yang ia lakukan” kata guru senior itu lagi, “Dan sekarang semuanya terbukti, pak Ngah memang tidak secara langsung menerima balasan kebaikan dari yang ia lakukan, tapi lihatlah anak-anaknya, tiga orang yang membanggakan. Satu menjadi kepala sekolah, satu lagi sudah menjadi polisi, dan yang bungsu malah sekarang sudah diangkat menjadi PNS”
“Saya yakin..” kata guru senior itu lagi kepada saya, “Semua itu pasti karena perbuatan baik yang dilakukan pak Ngah waktu muda dulu. Saya yakin sekali”
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar